BARUGANEWS, MAKASSAR – Krisis air yang melanda sebagian kecamatan di Kota Makassar belum juga ada solusinya. Di Kecamatan Tallo misal, warga harus mendorong gerobak untuk ambil air di tempat lain lantaran sumur mereka mengering. Alternatif lainnya, warga membeli dari PDAM kecamatan lain, itu berarti menambah ongkos.
Ikhsan, perwakilan PDAM Kota Makassar, menyatakan, sejumlah faktor menjadi kendala atasi krisis air lebih dua dekade ini. Salah satunya, ketersediaan air baku di Bendungan Lekopancing, terbatas, terutama saat musim kemarau karena banyak untuk irigasi.
“Kami menghadapi beberapa tantangan, misal, pemanfaatan air baku di Bendungan Lekopancing juga untuk saluran irigasi baik resmi maupun tidak. Maka saat kemarau aliran air pun terputus. Ada juga faktor teknis,” katanya dalam diskusi Walhi Sulsel tengah Februari.
Bendungan Lekopancing berada di Kabupaten Maros sejak 1970. Dengan panjang saluran ±30 km, bendungan ini memiliki debit air baku tertinggi 1.172 liter/detik pada Februari 2024 dan terendah pada Agustus 684 liter/detik.
Selain Bendungan Lekopancing, air baku PDAM Makassar juga dari sejumlah tempat, seperti Intake Mallengkeri, dari 1997, intake Manggala 2011, Sungai Jeneberang dengan debit rata-rata 280 liter/detik, serta Sungai Tallo.
Sejatinya, PADM melakukan berbagai upaya atasi krisis air sejak dua dekade ini. Misal, memanfaatkan Sungai Tallo sebagai penyuplai air baku di Instalasi Pengolahan Air (IPA) II Panaikang, memperbaiki saluran, membangun ontake Manggala untuk meningkatkan kapasitas produksi IPA II Panaikang menjadi 1.500 lpd.
Upaya lain, melakukan simulasi hidrolika dan pengembangan jaringan di sistem distribusi agar terintegrasi dengan IPA lain. “Ada juga rencana pembangunan IPA Timur Kota menyusul pembangunan Bendungan Jenelata yang memiliki daya tampung 223,60 juta M3 oleh pemerintah pusat.”
Konversi lahan DAS rusak
Muhammad Firdaus, dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang menyatakan, krisis air ini tak lepas dari kondisi hulu di Daerah Aliran Sungai (DAS) di Maros dan Jeneberang, yang kritis karena konversi lahan.
“Makanya dalam beberapa tahun ini rehabilitasi DAS, konservasi lahan kritis, penanaman pohon, dan penanaman biopori terus kita lakukan. Jika alih fungsi lahan di kawasan hutan makin masif tentu akan berpengaruh terhadap ketersediaan air baku yang dikelola PDAM,” katanya.
Luas DAS Jeneberang 784,80 Km2 yang menjadi hulu sungai terbesar, Sungai Jeneberang. Pada DAS Jeneberang terdapat Waduk Bili-Bili. Waduk iniSelain sumber air baku, juga untuk irigasi, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan sebagai pengendali banjir untuk Kota Makassar dan Gowa.
DAS Jeneberang mengalami degradasi karena kerusakan hutan dengan pemicu alih fungsi lahan dan alih tanam, terutama di hulu, yaitu di Gowa. Lahan kritis mencapai 6.260,19 hektar atau 5,57% dari luas total lahan kritis di DAS Jeneberang 112.350,78 hektar. DAS Maros seluas 672,24 km2 dan panjang sungai sekitar 69 km.
Firdaus katakan, kerusakan DAS karena alih fungsi lahan menjadikan badan-badan sungai di wilayah ini alami sedimentasi yang akhirnya kurangi daya tampung sungai. Akibatnya, banjir kerap terjadi, terutama di daerah pertanian karena sungai meluap.
“Erosi dan sedimentasi di sungai meningkat, yang menyebabkan pendangkalan dan berkurangnya kapasitas tampungan air terutama di DAS Maros, DAS Jeneberang, terutama akibat longsor Gunung Bawakaraeng,” kata Firdaus.
Khusus di DAS Jeneberang, keruntuhan Lereng Gunung Bawakaraeng, menyebabkan, sedimentasi masuk ke Sungai Jeneberang sebesar 167,2 juta m3 dan sedimentasi di Waduk Bilibili 75,2 juta m3. Sedimentasi tinggi 1.280 ton pertahun di DAS Jeneberang.
Apa solusinya?
Wana, Koordinator Perempuan Pejuang Air Bersih (PARAS) Tallo berharap, krisis air segera teratasi. “Krisis air ini sudah lama dan belum ditangani secara serius. Buktinya, sudah 20 tahun kami masih membeli air dan mendorong gerobak. Kami juga mau seperti ibu-ibu lain di luar sana yang kalau mau air tinggal memutar kran,” katanya.
Dalam diskusi ini semua pihak yang hadir bersepakat dan berkomitmen bersama-sama mengatasi permasalahan krisis air di Kecamatan Tallo. Tiga kesepakatan dalam pertemuan ini, pertama, para pihak dan semua unsur yang terlibat dalam dialog ini akan mengupayakan semaksimal mungkin merumuskan, melaksanakan, dan menyelenggarakan suatu program atau kebijakan pada instansi masing-masing untuk menyelesaikan permasalahan air bersih yang ada di Kota Makassar khususnya di Kecamatan Tallo, tepatnya di Kelurahan Tallo, Buloa, dan Kaluku Bodoa.
Kedua, para pihak dan semua unsur yang terlibat dalam dialog ini akan bekerjasama dan berkolaborasi dengan PARAS Tallo, Koalisi Gerakan Makassar Menuntut Air Bersih (GEMAH), dan Walhi Sulawesi Selatan dalam perencanaan penyelesaian masalah air bersih di Kota Makassar terutama di Kecamatan Tallo.
Ketiga, para pihak dan semua unsur terlibat dalam dialog ini bersepakat menjalankan kebijakan penyelesaian masalah air bersih di Kota Makassar secara adil, transparan, inklusif, dan mengutamakan prinsip pengarusutamaan gender dalam tiap aktivitas. (*)